Bunga ibu

Di sebuah desa tinggal seorang ibu dan seorang anaknya di rumah gubuk. Sang ibu adalah tulang punggung keluarga setelah sang ayah meninggal karena sakit saat anaknya masih bayi. Lima tahun sudah sang ibu membanting tulang demi menghidupi buah hati satu-satunya. Sang ibu yang bernama Maria bekerja serabutan pada tetangganya. Kadang Maria memberi makan ternak, mencari kayu di hutan, mencuci pakaian, dan apapun yang bisa Maria kerjakan.

Maria tidak punya keluarga di desa tersebut, hanya dia dan anaknya, Clara. Ketika Maria pergi ke hutan mencari kayu, Clara pun ikut serta karena dia masih lima tahun dan Maria tidak bisa meninggalkannya di rumah sendirian. Clara adalah seorang anak yang cerdas, bahkan tetangga sekitar mengakuinya. Clara pun tidak pernah rewel kepada ibunya.

Suatu ketika saat mereka berdua pergi mencari kayu di hutan, Clara melihat bunga yang sangat indah, menyerupai mawar tapi lebih besar 10 kali dari ukuran mawar. Clara ingin sekali mengambil bunga itu, tapi tidak bisa karena mereka dipisahkan oleh sungai. Clara pun meminta pada ibunya untuk mengambil bunga tersebut. Clara yang tidak pernah rewel saat itu sangat berbeda sehingga ibunya menurutinya. Maria perlahan menyeberangi sungai yang tampak tenang hingga sampai ke seberangnya. Mariapun memetik salah satu bunga dan membawanya kepada anaknya tercinta. Sesampainya di rumah bunga itu diletakkan di sebuah vas dan menjadi satu-satunya penghias rumah mereka.

Bunga itu mereka namai bunga ibu karena tidak tahu nama asli bunga itu. bunga ibu memancarkan aroma yang sangat wangi ketika dipetik dari pohonnya. Orang yang tidak pernah memetiknya tidak akan menyangka bahwa bunga itu begitu wangi. Setiap orang yang melewati rumah Maria pasti akan merasa damai karena wangi dari bunga ibu. Suatu hari ada seorang pelanggan yang mencucikan bajunya  ke Maria datang ke rumahnya. Pelanggan tersebut hendak komplain karena cuciannya belum selesai, padahal bukan salah Maria hanya cuaca yang sering mendung dan hujan. Namun ketika pelanggan itu sampai ke rumah Maria dia tidak bisa marah, entah kenapa semua rasa kesal yang ada di dadanya lenyap. Diapun menerima alasan Maria kenapa belum selesai juga cuciannya, dan memberinya keringanan lalu pulang.

Entah kenapa semenjak mereka menemukan bunga ibu semua hal begitu menyenangkan. Mereka merasa nyaman dan damai. Setiap setahun sekali mereka pergi ke hutan untuk memetik bunga ibu karena bunga ibu hanya mekar setahun sekali pada akhir tahun. Hingga suatu tahun mereka tidak menjumpai bunga ibu mekar lagi.

Clara menjadi sakit, dia demam. Ibunya sudah mencoba membawanya ke dukun desa tapi tidak sembuh juga sakit Clara. Clara selalu mengigau ingin diambilkan bunga ibu. Maria pun akhirnya pergi ke hutan mencari bunga ibu. Clara dititipkan kepada tetangganya. Seminggu Maria berburu bunga ibu di hutan saat akhirnya Clara mulai sembuh dari sakitnya.

Clara bertanya kepada tetangganya yang menjaga dia, dia menanyakan dimana ibunya. Tetangganya bercerita kepada Clara ketika dia sakit, dia mengigau terus tentang bunga ibu sehingga ibunya pergi ke hutan untuk mencari bunga ibu dan sudah seminggu ibunya belum kembali. Clara pun menyusul ibunya ke hutan.

Clara mencari ibunya, memanggil manggil namun tidak ada balasan dari yang dicari. Di tempat dia dulu menemukan bunga ibu tidak tampak ibunya. Dia terus masuk kedalam hutan sambil menangis.

Clara berlutut di atas tanah. Air matanya menetes turun ke bumi. Dia menginginkan ibunya.

Ibuku sayang, aku ingin engkau

Aku ingin cintamu yang mekar sepanjang hidupku

Aku ingin selalu melihat keindahanmu

Cintamu tidak setahun sekali, tidak seperti cintaku

Wangimu yang membuatku nyaman

Inginku dekap selalu

Tidak ada yang lebih indah dari cintamu ibu

Tidak ada yang lebih wangi dari kasih sayangmu

Kau akan selalu kusimpan dihatiku

Dan tidak akan pernah layu seperti cintamu kepadaku

Ibuku sayang, aku selalu merindukanmu

Aku selalu ingin bersamamu”

Maria pun muncul dan meneteskan air mata. Memeluk anaknya dengan erat. Mereka pulang ke rumah tidak membawa bunga ibu, tapi membawa cinta dan kasih sayang.